http://www.bentarabudaya.com/news.php?id=217&lg=id#217Oleh Sumarno
Tahun 1997 merupakan awal krisis di segala bidang. Diawali krisis ekonomi, disusul krisis kepercayaan dan krisis kepemimpinan nasional yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto karena gerakan mahasiswa 1998.
Tahun 1997 tak terkecuali, krisis melanda dunia seni. Terutama seni yang berbasis idealisme dan tak bisa menembus pangsa pasar. Teater RSPD yang pernah menjadi penggerak aktivitas teater di Tegal, sejak 1997 tak pernah lagi menggelar pentas di luar Tegal (Kompas, 14/3). Di Yogyakarta lebih memprihatinkan, ratusan dalang menganggur, tidak ada job pementasan. Menyusutnya jumlah tanggapan wayang juga mulai terasa tahun 1997 (Kompas, 15/3).
Vakumnya pementasan teater dan sepinya tanggapan wayang adalah fenomena krisis kesenian yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Asumsi yang pertama muncul bisa ditebak, faktor ekonomi dituding sebagai penyebab. Kedua, kesenian tradisional seperti wayang telah ditinggalkan penggemarnya. Kaum muda lebih suka kesenian pop, band adalah contohnya.
Namun, melihat hal ini tidak sesederhana itu. Lihat saja setelah bergulir reformasi, terutama sejak masa Presiden KH Abdurrahman Wahid, dibuka kebebasan berekspresi seluas-luasnya, tak terkecuali memberi ruang lebih luas bagi etnis Tionghoa. Kesenian barongsai yang juga merupakan kesenian tradisional berkembang pesat dan mampu mendapat tempat bergengsi dengan pentas di mal-mal diikuti sambutan publik antusias.
Sebaliknya, memasuki era reformasi, pamor kesenian wayang kulit makin redup. Frekuensi pentas terus menurun.
Faktor ekonomi bukan penyebab satu-satunya. Karya seni tradisional asli dari daerah-daerah di Indonesia seperti tak bertuan. Batik, reog, angklung, lagu, dan tari adalah sederet karya seni yang pernah diklaim Malaysia. Ini mengindikasikan bahwa kita sebagai bangsa dan terutama para pemimpin kurang menaruh kepedulian terhadap kesenian tradisional. Kepedulian itu bahkan nyaris tak ada sama sekali.
Landasan ideologi
Terlepas dari kejelekan kepemimpinan Soeharto, kepeduliannya terhadap seni tradisional, terutama wayang kulit, sangat tinggi. Setiap ulang tahun departemen, TVRI, RRI, atau instansi lain kerap menanggap wayang kulit. Bahkan, wayang bukan hanya untuk dipentaskan, tetapi betul-betul dihayati. Di ruang kantor maupun rumah dihiasi dekorasi bermotif wayang. Cerita kisah pewayangan menjadi panduan mengelola negara. Setidaknya menunjukkan memiliki landasan ideologi muatan lokal.
Faktor kepedulian pemimpin sangat memengaruhi eksistensi kesenian tradisional. Maraknya seni barongsai beraksi di mal-mal karena kaum Taipan banyak menguasai sektor bisnis di Indonesia, termasuk pusat-pusat perbelanjaan modern.
Di era reformasi pemimpin kita lebih banyak bermanufer politik. Kalaupun minat pada seni, seni yang diminati adalah seni pop yang mengharu biru massa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih tertarik mencipta lagu pop, selebihnya nonton film dan jazz. Nonton bukan hal yang salah sebagai bentuk apresiasi. Namun, kalau kesenian tradisional seperti wayang jarang ditengok, hal ini akan makin menjauhkannya dari masyarakat.
Untuk bangsa patronisme, peran pemimpin sebagai teladan dalam pelestarian seni tradisional sangat penting.
Kalau tahun 1997 ditengarai sebagai awal krisis multidimensi yang membuat krisis ekonomi dan krisis kepemimpinan pulih, kenapa krisis kesenian tradisional tidak kunjung pulih? Apakah memang bangsa ini telah mengalami metamorfosis? Kalau iya, berubah wujud rupa? Bergeser dari wujud awalnya?
Kita kadang gampang terkecoh apa yang kita tidak kuasai. Padahal, tak kurang bangsa-bangsa Asia patut dijadikan contoh untuk kemajuan di banyak bidang tanpa meninggalkan tradisi. Jepang, China, dan India adalah bangsa yang mencapai kemajuan di bidang teknologi, ekonomi, atau demokrasi, tetapi tetap berpegang teguh pada tradisi.
Anehnya lagi, tak sedikit orang Barat belajar karawitan dan wayang. Namun, generasi kita enggan mempelajarinya. Seolah kita tidak bisa membedakan antara modernisasi dan Westernisasi. Bangsa tak pandai menentukan orientasi. Pantas, jika pulihnya perekonomian pun lebih lambat dibanding negera-negara yang sama-sama mengalami krisis.
Akhirnya, terasa juga sebagai bangsa yang kurang menghargai budaya sendiri adalah bangsa yang rapuh, tak memiliki jati diri, gampang goyah. Beberapa waktu lalu sering dilecehkan bangsa lain.
Sungguh miris, kalau dalang (mudal piwulang) yang dihormati dan disegani beralih profesi menjadi petani, atau blantik. Inilah dampak kurangnya kepedulian kita atas kesenian tradisional yang sarat nilai- nilai filosofis, seperti sering diuraikan oleh para dalang. Pelestarian kesenian tradisional harus dimulai dari kepedulian para pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar